Minggu, 26 Juli 2009

NATO

NATO (North Atlantic Treaty Organization) merupakan sebuah organisasi keamanan bersama yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan perdamaian di kawasan Atlantik Utara. NATO dibentuk dan didirikan pada tanggal 4 April 1949. NATO mempunyai 26 negara anggota di Eropa, Amerika Utara termasuk Amerika Serikat.

Pasca Perang Dingin, NATO masih dipertahankan dengan alasan bahwa negara-negara di kawasan Eropa Barat masih khawatir timbulnya konflik antar negara dan etnis di negara-negara Eropa Timur. Contohnya, konflik etnis yang terjadi di Yugoslavia yang akhirnya menyebabkan perpecahan negara tersebut.

Seiring dengan berakhirnya perang dingin, jaminan senjata nuklir NATO (Sebut: AS) yang dahulu sangat diperlukan negara-negara Eropa Barat untuk menghadang Uni Soviet dipandang bukan lagi menjadi salah satu isu penting lagi. Sehingga negara-negara Eropa Barat mulai berpikir untuk tidak lagi tergantung pada jaminan keamanan Amerika Serikat.

Uni Eropa dan Amerika mulai menunjukkan adanya perselisihan pandangan. Perbedaan pandangan tersebut pula yang kerap kali menyebabkan konflik muncul di antara keduanya. Dalam menyelesaikan masalah Irak tersebut, Amerika dan Eropa memiliki pandangan yang berbeda. Beberapa negara di Eropa tidak setuju dengan tindakan Amerika yang unilateral dengan melakukan invasi ke Irak tanpa persetujuan dari Dewan Keamanan (DK) PBB. Tidak dapat disangkal, para pemimpin Eropa selama ini sering terganggu oleh implementasi kebijakan dan aksi AS di luar negeri. Akibatnya, ketegangan hubungan pun terjadi di antara keduanya. Sekali lagi dapat disimpulkan bahwa begitu lebarnya jurang perbedaan antara Eropa dan Amerika, mau tidak mau keduanya harus berjalan dengan cara masing-masing.

Hubungan transatlantik sebenarnya sejak lama mengalami
keretakan. Menyusul robohnya Uni Soviet, Presiden Amerika Serikat George Bush senior dan Bill Clinton bertekad untuk memelihara aliansi itu guna menjamin bahwa Amerika tetap sebagai kekuatan penting di Eropa. Untuk hal ini, kedua Presiden AS itu memberikan peran baru bagi Eropa dengan memunculkan konsep perluasanganda (double enlargement) ekspansi geografis ke timurdengan memasukkan negara-negara satelit bekas UniSoviet dan multiplikasi misi organisasi, khususnya “diluar area” misi utama. Dengan kata lain di luar Eropa,seperti di Afghanistan. Tetapi banyak pemimpin Eropa curiga dan marah atas sikap manipulatif Washington dan pendekatan unilateralis AS serta implikasi atas hegemoninya. Pidato Kenegaraan Bush pada Januari 2002 tentang “poros setan” telah meyakinkan banyak kalangan di Eropa atas niat Bush untuk secara unilateral menunjukkan keadidayaan AS.

Kalangan pemimpin Eropa juga menyadari bahwa dengan punahnya ancaman Uni Soviet, AS berniat memanfaatkan NATO sebagai alat untuk memelihara hegemoni AS di Eropa dan seluruh dunia dan tidak akan ragu mengambil berbagai langkah apapun untuk mencegah munculnya adidaya tandingan. AS bertekad untuk tetap menjadisatu-satunya adidaya dan karena itu terdapat keretakan yang makin melebar dengan Eropa karena Eropa saat ini menjadi satu-satunya kawasan di mana kekuasaan tandingan dapat muncul. akan menciptakan instabilitas yang menggoyang institusi Eropa. Sebagai aliansi, NATO tidak lagi melayani kepentingan Eropa karena ancaman keamanan didalam Eropa tampaknya sudah mati.

Setelah perang dingin, kawasan Eropa secara keseluruhan akan cenderung lebih dekat dengan UE secara ekonomi dan militer sehingga AS akan memperoleh banyak kesulitan jika ingin mempunyai posisi dominan di kawasan itu. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, negara-negara anggota UE telah mengembangkan koordinasi kebijakan melalui EPC (European Political Cooperation) yang beranggotakan menteri-menteri luar negeri. Tujuannya, untuk memperoleh satu suara bulat dalam masalah-masalah internasional. Dan yang lebih signifikan, hampir dua tahun setelah mereka meluncurkan mata uang tunggal Eropa untuk menandingi dolar AS, pemerintah UE tampak siap untuk menantang dominasi Amerika di bidang pertahanan dan keamanan.

Kedua, AS misalnya berseberangan dengan Jerman dan Perancis dalam serangan dan aksi pendudukan terhadap Irak. Antusiasme negara-negara Eropa Barat atas keanggotaannya dalam NATO cenderung menurun, lebih-lebih setelah Perang Dingin berakhir. Jaminan keamanan Amerika Serikat dalam menangkal kemungkinan serangan nuklir Uni Soviet sangatlah diperlukan oleh negara-negara Eropa Barat. Namun, setelah runtuhnya Uni Soviet maka peran Amerika serikat tersebut dipertanyakan seiring semakin kuatnya Uni Eropa, baik secara ekonomi dan militer.

Sementara itu, NATO dan AS kelihatan sangat berambisi memperluas pengaruhnya dalam bidang militer setelah runtuhnya Uni Soviet dimana hal tersebut disambut baik oleh negara-negara bekas Blok Timur. Terakhir, bergabungnya tujuh negara bekas anggota Pakta Warsawa dianggap sebagai salah satu momen paling penting dalam sejarah NATO.

Walaupun Pakta NATO diciptakan pada 1949 untuk membangun pertahanan bersama komunitas Atlantik melawan Uni Soviet namun agenda politik AS dengan Eropa menjadi agenda global, kata Nicholas Burns, pembantu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk urusan politik.

"Presiden (Bush) kini menilai NATO harus mengurusi keamanan di wilayah di luar Eropa," kata Judy Ansley, penasihat keamanan nasional senior Bush. Inggris dan Denmark, bersama sejumlah negara bekas Soviet, mendukung pandangan semacam ini. Pernyataan AS tersebut ditentang oleh Prancis, Jerman, Belgia, Yunani, Spanyol, dan Italia dengan alasan akan mengubah NATO menjadi koalisi negara-negara demokratis dengan ambisi global akan mengirim sinyal buruk.

Prancis, Jerman, Belgia dan Luxembourg sedang merancang struktur komando dan perencanaan militer UE, yang terpisah dan independen dari aliansi NATO pimpinan AS. Mereka juga menginginkan ketetapan traktat menuju kerjasama yang terstruktur dalam bidang pertahanan yang akan memungkinkan sekelompok kecil dari negara-negara UE untuk melakukan integrasi militer dengan cepat. Dan untuk pertama kalinya, mereka menginginkan konstitusi baru itu untuk memasukkan klausul pertahanan bersama. Rencana tersebut didasari oleh adanya anggapan bahwa AS terlalu dominan dalam NATO, misalnya dalam kasus Afghanistan dan Irak. sehingga memunculkan ketergantungan NATO, ataupun UE pada khususnya, terhadap AS.

Selama ini Uni Eropa lebih terkonsentrasikan sebagai badan konsultatif ekonomi sehingga tahun depan perlu menjangkau aspek politik dan bahkan militer, selain aspek ekonomi. Kebijakan politik dan militer negara-negara Eropa lebih banyak bertumpu pada resolusi PBB, sedangkan penggunaan kekuatan militer multinasional dan/atau NATO, lebih diartikan sebagai inisiatif Amerika Serikat dan sekutu terdekatnya Inggris, dan juga mungkin, Australia. Pada Perang Teluk I, Perang Afganistan, dan terakhir Perang Teluk II, pada dasarnya Uni Eropa lebih pragmatis dalam bersikap. Hal ini ditunjukkan dengan keberhasilan Brigade Perancis-Jerman pada penugasan di daerah-daerah konflik tersebut yang lebih mengedepanan legitimasi dan penyelesaian solusi damai. Pada tahun ini, 2007, kemandirian pasukan Uni Eropa diperkuat dengan penyiapan 60.000 pasukan di luar NATO untuk mengatasi berbagai konflik dan pemeliharaan perdamaian di bawah bendera PBB. Selain itu, organisasi pasukan tersebut juga merupakan gabungan kesetaraan, artinya dari Panglima Komando hingga prajurit di garis depan, akan diawaki oleh personel dari semua negara peserta. Konsep baru ini sama sekali berbeda dengan yang berlaku selama ini di NATO atau Multinasional, dimana setiap negara membawahi komando pasukannya sendiri sesuai dengan pembagian sektor penugasan.

AS memandang rencana pertahanan UE tersebut ancaman baginya, Meski NATO masih memegang tanggung jawab yang penting dalam bidang pertahanan kolektif, apabila rencana tersebut berhasil disetujui, maka peranan NATO di Eropa semakin Eropa semakin berkurang dengan meningkatnya tanggung jawab Uni Eropa dalam hal keamanan dan manajemen krisis di Eropa. Hal ini akan berujung pada terancamnya dominasi AS di wilayah tersebut. Pengaruh Amerika Serikat melalui NATO di kawasan Eropa masih cukup kuat hingga sekarang namun hal tersebut dapat mengalami penurunan apabila Uni Eropa kian mandiri dalam mementukan kebijakannya di bidang ekonomi, politik dan khususnya militer. Hal ini turut pula menyebabkan berkurangnya Bargaining power AS di kawasan Eropa. Pada akhirnya, AS tidak dapat lagi ”menguasai” sistem internasional.


REALISM and NEOREALISM

  • Focusing on the reality of conflict in IR + the positive function of “power politics”
  • Assumptions:

(1) state is the primary actor and the of analysis

(2) IR takes place in anarchical environment

(3) state acts rationally to pursuit interests in terms of power

E.H. Carr

  • Rejecting normative character of liberal internationalism; wishing more than thinking ® the failure of League of Nations proved the inadequacy of pure aspirations as the basis for science of IR ® emphasizing on the realities of power, that is the unequal distribution of power in IR, to understand the root causes of war

  • Liberal arguments of harmony and peace reflected the interests of "satisfied powers" to preserve status quo ® the post war system has been created by the victors of war that was unlikely to receive the support of those such as Germany ® for non-satisfied powers, harmony and peace is a universal tyranny

  • The pursuit of national Powel is natural ® clashes of national interests were inevitable ® minimizing such clashes required a rough balance of powers between states

H.J Morgenthau

  • Scientific inclination ® eager to build theory based on "reality" of IR from which certainties and predictions could be deduced
  • Six principles of realism ® (1) objective laws (2) the concept of interests defined in terms of power (3) the form and nature of state power will vary in time but the interest remain consistent (4) states are not moral actors (5) there is no universal set of moral principles (6) political sphere is autonomous
  • Main argument ® politics is governed by human nature (will to power) + struggle between states and the pursuit of national interests is normal

K. Waltz

  • Waltz neorealism was a critique of traditional realism and a response to liberal interdependency theory
  • International system as separate realm with defined structure ® this system shapes state behavior; explaining why all states pursue similar foreign policy ® focusing on anarchical condition of international realm that imposes accumulation of power as a systemic requirement on states ® denouncing traditional realism as reductionist and put too much emphasis on behavior
  • Three structures of international system: (1) the ordering principle of the system, that is non-hierarchic (2) the character of the units in the system, that is accumulating power (3) the distribution of the capabilities of the units in the system, that is unequal and constantly shifting distribution of power across the international system

Critics of Realism and Neorealism

  • Marxist and Critical theory ® conservatism; preserving the status quo and reproducing the interests of dominant states
  • Postmodernism ® questioning positivistic argument and such separate realm such as international system

Apakah saat ini hukum internasional sudah berjalan efektif atau belum?

Mungkin cukup sulit bagi kita untuk menjawab apakah hukum internasional itu sudah berjalan dengan efektif atau belum. Namun penulis akan coba menguraikan sejauh mana implementasi hukum internasional itu dan sejauh mana pula keefektifannya.

Mari kita mulai dengan melihat bagaimana hukum internasional itu di buat. Sederhananya hukum itu di buat untuk menciptakan ketertiban. Hukum internasional ada dan diciptakan untuk membentuk suatu perdamaian dunia (peace keeping). Dalam berbagai bidang dimana sangat mungkin terjadi suatu distorsi yang mampu menyebabkan chaos antar negara-negara yang ada. Tarik-menarik kepentingan dan pemaksaan sesuatu terhadap negara lain bisa saja terjadi kapan, dimana, dan terhadap siapa saja. Seperti yang dikatakan kaum realis bahwa hubungan antara negara-negara bersifat anarkhis dimana satu sama lain saling mengejar national interest-nya dan sangat mungkin terjadi clash dalam implementasinya.

Karena itulah akhirnya negara-negara berpikiran untuk mereduksi kemungkinan-kemungkinan itu. Maka masing-masing negara yang merasa bahwa hukum itu perlu dibentuk, mereka berkumpul dan membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu yang bersinggungan terhadapa bidang-bidang yang perlu dibahas. Harapannya adalah bahwa clash yang mungkin terjadi bisa diminimalisir bahkan dihilangkan dan tentunya pula terciptanya suatu kedamaian di dunia ini.

Hukum internasional dengan politik internasional menjadi kata kunci untuk menjelaskan permasalahan pokok yang berkaitan dengan masalah efektifitas hukum internasional dalam menjamin kepatuhan negara terhadap aturan main yang ada pada level antarnegara. Hukum internasional itu sendiri hadir dari beberapa konvensi dan juga resolusi-resolusi PBB, dengan satu tujuan suci tiada lain ialah membina masyarakat internasional yang bersih dari segala hal yang berbau merugikan sesuatu negara, dengan demikian dapat mempererat terjalinnya hubungan internasional atau hubungan antar negara secara sehat, dinamis dan harmornis.

Namun dalam implementasinya menjadi sangat berbeda ketika kita melihat aktor-aktor yang menjadi pelaku dari hukum internasional tersebut. Dalam hubungan yang dijalin oleh- negara-negara seringkali terjadi suatu negara melakukan tindakan yang merugikan negara lain. Bagaimana hukum internasional mengatur itu? Dalam hukum internasional ada yang dinamakan dengan tanggung jawab internasional. Ini merupakan bentuk kongkrit sebagai implikasi dari hukum yang dilanggar. Artinya, ketika suatu negara melakukan pelanggaran (misal melakukan suatu tindakan yang merugikan negara lain) maka ia harus mematuhi apa yang telah digariskan dalam hukum internasional.

Hukum Internasional ada untuk mengatur segala hubungan internasional demi berlangsungnya kehidupan internasional yang terlepas dari segala bentuk tindakan yang merugikan negara lain. Oleh sebab itu negara yang melakukan tindakan yang dapat merugikan negara lain atau dalam artian melanggar kesepakatan bersama akan dikenai implikasi hukum, jadi sebuah negara harus bertanggung jawab atas segala tindakan yang telah dilakukannya.

Apa yang harus dilakukan oleh negara atau aktor yang melanggar hukum internasional? Seperti penulis katakan di atas bahwa bagi pelanggar hukum internasioal harus melakukan tanggung jawab internasional yaitu peraturan hukum dimana hukum internasional mewajibkan kepada person hukum internasional pelaku tindakan yang melanggar kewajiban-kewajiban internasional yang menyebabkan kerugian pada person hukum internasional lainnya untuk melakukan kompensasi.

Meskipun demikian terakadang masih saja kita temukan ada negara-negara yang tidak dikenai sanksi terhadap apa yang telah ia lakukan. Penulis melihat tidak berlakunya hukum internasional terhadap negara-negara yang melakukan pelanggaran bisa diakibatkan oleh kurang berfungsinya organisasi-organisasi internasional secara total dan bisa juga dikarenakan negara yang melanggar secara hirarkis memiliki posisi power yang lebih daripada negara-negara yang lainnya.

Power yang lebih sudah cukup untuk melakukan hegemoni terhadap negara-negara lain dan juga terhadap organisasi-organisasi intertasional tertentu. Kondisi ini kemudian menjadi mafhum bagi negara lain dan bagi organisasi internasional manakala yang melanggar hukum tersebut adalah negara yang memiliki power serta memberikan kontribusi yang lebih terhadap negara-negara dan organisasi-organisasi internasional yang ada. Pola hubungan yang saling ketergantungan juga kadang membuat sikap suatu negara bisa saja berubah dalam menanggapi pelangggaran suatu negara. Ketakutan akan disngkirkan atau tidak dibantu oleh negara yang melakukan pelanggaran menjadi pertimbangan yang signifikan oleh negara yang menjadi bagian dari aktor hukum internasional itu.

Dalam konteks ini penulis ingin berpendapat bahwa tidak selamanya hukum internasional bisa berjalan efektif. Hal itu bisa di sebabkan beberapa hal : seperti kurang berfungsinya organisasi-organisasi internasional, adanya ketergantungan negara-negara kecil terhadap negara-negara besar—apabila yang melanggar adalah negara yang memiliki power yang lebih besar, ketergantungan organisasi internasional tertentu terhadap suatu negara tertentu.

Artinya, pelaksanaan hukum internasional sangat jauh untuk bisa berjalan secara efektif yang sempurna. Karena semua serba sarat dengan nilai dan interest. Namun bukan berarti hukum tidak bisa dijalankan. Hukum internasional bisa dijalankan, akan tetapi pada batas-batas tertentu tidak bisa secara penuh efektif. Hal ini dikarenakan komposisi dan strukutur sistem internasional yang memang secara hirarkis turut mempengaruhi. Kecenderungan yang muncul dalam peng-implementasian hukum internasional adalah ketika pelanggaran dilakukan oleh negara-negara besar yang memiliki power dan memberikan kontribusi terhadap negara dan organisasi internasional atau menjadi patron dalam sistem internasional, maka sanksi yang akan dikenakan pun bisa saja tidak sesuai dengan yang seharusnya. Sebaliknya ketika yang melanggar adalah negara kecil dan secara hirarkis memiliki power yang lemah maka bisa saja dengan mudah dikenai sanksi .

Sekali lagi penulis ingin mengatakan bahwa itulah jadinya ketika sistem internasional di dominasi bahkan di hegemoni oleh suatu negara maka hukum internasional pun bisa saja seenaknya dibolak-balikkan. Namun, dibalik itu semua kita harus tetap yakin bahwa hukum pasti tetap bisa dijalankan meskipun dengan kondisi yang mungkin jauh dari sempurna